Sebagaimana diuraikan dimuka bahwa wilayah Gunungkidul adalah pelarian Majapahit, yang telah dikalahkan oleh Kasultanan Demak pada tahun 1518. Pelarian /bubaran Majapahit ini tetap dipantau oleh Demak dengan para wali pendukungnya. Dikirimlah Kyai Ageng Giring (putra Raden Patah) ke Gunungkidul untuk melakukan dakwah.
Masuknya pelarian Majapahit ke Gunungkidul melalui sebelah utara (Klaten) masuk lewat Ngawen, Semin dan sampai ke Karangmojo. Dikarangmojo inilah mereka sempat menanamkan kekuasaan dan sempat meninggalkan bekas-bekas fisik maupun budaya, seperti:
- Pada tahun 1921 dekat makam di desa candi kecamatan Karangmojo pernah ditemukan sebuah pintu atau lawang kuno yang besar, hingga bertahun-tahun lawang itu dibiarkan di ladang. Penduduk setempat takut memindahkan bekas bangunan kuno tersebut ke tempat lain. Maka akhirnya benda itu rusak akibat hujan dan panas hingga tak meninggalkan bekas sampai sekarang. Maka desa tersebut sampai sekarang disebut desa Candi Lawang. menurut analisis sejarah, maka dapat diduga memang di desa tersebut betul-betul dulu adalah tempat dibangunnya candi-candi sebagai tempat peribadatan orang HIndu Majapahit. Nama Candi Lawang mengingatkan kita di daerah Jawa Timur di desa Lawang di wilayah Malang memang ada bekas candi pintu gerbang kerajaan Majapahit dahulu.
- Pada tahun 1939 di desa kejar Kec. Wonosari pernah ditemukan makam Budha, karena disitu ditemukan satu lubang terdapat 8 kerangka manusia yang besar dan panjang-panjang. Rata-rata tiap kerangka memiliki ukuran panjang 2 meter. Di sebelah susunan kerangka tersebut didapatkan sebelah keris. Di desa Kejar tersebut ada satu kebudayaan yang hidup dan berkembang yang diperkirakan berasal dari kebudayaan Hindu-Budha, yaitu kebudayaan pandai besi yang sudah terkenal di seluruh D.I.Yogyakarta.
- Pada tanggal 22 Juni 1975 di Desa Jatiayu Karangmojo , ditemukan barang-banrang purbakala, yaitu :
- Arca Ganesha/Ciwa, setinggi 60 Cm
- Arca yang sudah hilang kepalanya, seinggi, 30 cm
- Arca lingga dan Yoni
- Sebuah gigi yang besar dan panjang
- Emas
- Batu berlubang, yang berisi pundi-pundi logam
Di samping itu di ddaerah sekitarnya terdapat banyak batu bata, baik yang masih tersusun rapi maupun yang sudah berserakan dan sering digunakan oleh penduduk setempat untuk membuat bahan semen merah untuk bangunan, diperkirakan pusat pemerintahan bubaran Majapahit yang ke Gunungkidul.
Dakwah Ki Ageng Giring bersama pengikutnya, yang membawa mandat dari Sultan Demak bersama para wali untuk melakukan pengejaran dakwah sampai pula di Karangmojo itu, memperhatikan budaya masyarakatnya, kemudian dinyatakan memang itu budaya MAjapahit. Pelarian Majapahit ini dikejar terus sebagai pelarian (playon) sampai diwilayah Playen sekarang ini. Terus ke selatan disana mereka ada yang menyerahdi Paliyan Sekarang (artinya "paron" sebagian menjadi pengikut Kyai Ageng Giring beragama Islam tetapi sebagian tetap membangkang) dan mereka keselatan sampai ke Panggang. Disana mereka tidak bisa melanjutkan dikarenakan adanya laut dan akhirnya di Panggang itulah mereka menyerah dan dihukum pepe (panggang) oleh prajurit Demak, pengikut Ki Ageng Giring. Penamaan Kecamatan Playen, Paliyan, dan Panggang, konon ada kaitannya nasib para pelarian dari Majapahit ini.
Di dalam pelarian, mereka meninggalkan benda-benda yang ditemukan sebagai benda-benda purbakala seperti :
- Di Daerah Kecamatan Paliyan pernah pula di temukan benda-benda emas/logam peninggalan zaman kuno
- Di Karangasem Kelurahan Mulo Kecamatan Wonosari, pernah ditemukan uang gobog yang tidak sedikit jumlahnya.
Setelah kesultanan Demak pindah ke Pajang dan Mataram Serta Ngayogyakarta Hadiningrat, tetap memberikan perhatian kekuasaan Majapahit yang berada di Gunungkidul. Pusat Pemerintahan Gunungkidul oleh kesultanan Islam di Pajang dan Mataram serta Ngayogyakarta di pindah ke timur ke arah Ponjong sekarang wilayah Wirik. Disana ada nama Kadipaten (kata Ponjong sangat mirip dengan kata Pajang).
Kyai Ageng Giring atau juga disebut Kyai Ageng Selo, karena kesaktiannya dapat menakhlukkan petir dan menginjakkan kakinya disuatu batu besar (selo), sehingga disebut Kyai Ageng Selo adalah Saudara Kyai Ageng Pamanahan ayahanda panembahan Senopati , Raja Islam Pertama di Mataram. Kyai Ageng Giring meninggal di Gunungkidul dan dikubur/disarekke di sodo Paliyan, dan meninggalkan cerita yang unik berkaitan dengan trah penguasa Mataram "degan/kelapa muda' sebagai wahyu Kerajaan Mataram yang diperebutkan diantara saudara ( Kyai Ageng Giring dan Kyai Ageng Pemanahan, putra raden Patah, sultan demak Bintoro). Sarean Kyai Ageng Giring tersebut sampai sekarang masih dipelihara oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kuburan pendiri Kraton Ngayogyakarta.
Sebagaiman disebut dalam sejarah, bahwa Panembahan Senopati, putra Kyai Ageng Pamanahan yang mendapat paringan dalem Sultan Pajang Hadiwijaya berupa tanah atau tanah mentaok, sebagai ucapan terimakasih atas jasanya mengalahkan Arya Panangsang dari Jipang. Hutan mentaok ini ternyata ada kaitannya dengan terbentuknya desa Bintaos wilayah Kecamatan Tepus. Kata Bintaos sama artinya dengan mentaok. di Zaman Sultan Pajang, yaitu Sultan Hadiwijaya berkuasa, mewilayahi hutan mentaok, yaitu suatu wilayah yang diserahkan kepada Raden Sutawijaya, yang kemudian bergelar Panembahan Senopati, Putra Kyai Ageng Pemanahan, yang diambil sebagai anak angkat Sultan Hadiwijaya. Wilayah ini masih berwujud hutan lebat penuh pohom mentaok/bintaos karena disebut alas mentaok. Mengingat betapa luasnya alas/hutan nebtaok ini dimungkinkan sampai daerah Gunungkidul. Selanjutnya untuk menandai batas wilayah kasultanan Ngayogyakarta , maka oleh Sri Sulatan Hamengku Buwono IX dibangun suatu tugu, yang sekarang masih ada di kecamatan Tepus. Sebagai suatu tanda monumen peringatan bahwa di desa itu terjalis suatu goresan sejarah dengan masa kerajaan Mataram di masa silam. Hanya sekedar untuk mengigatkan bagi keturunan Sri Sultan itu sendiri, bahwa tempat itu merupakan petilasan penting di masa kehidupan leluhurnya di masa lampau. untuk diketahuinya, yang mempunyai hubungan erat dalam sejarah kehidupan negara Mataram.
Sumber :
Kamaludiningrat, Ahmad Muhsin.2012.Sejarah dan Perjuangan Raden Kyai Haji Muhammad Hasan dan Keturunannya.Yogyakarta:Percetakan Jogja