Berdasarkan penelitian
sejarah dan memperhatikan prasasti dan peningkatan archeologis, maka dapat disimpulkan bahwa penyebaran Islam di
Indonesia berasal langsung dari Timur Tengah pada abad pertama Hijriyah oleh
para Mubaligh dan sekaligus pedagang, dengan pintu pertama di daerah Aceh dan
pesisir utara Jawa. Khusus di daerah jawa, penyebaran Islam dilakukan oleh para
Wali yang dikenal dengan kelompok “Wali Songo”, yang dikirim dari Timur Tengah,
khususnya dari Kesultanan Turki.
Cara dan metode penyiaran
yang digunakan oleh para Wali adalah dengan cara damai (penetration pasific) dan pada umumnya dimulai dari lapisan atas,
yaitu para pengusaha dan para bangsawannya. Sebab para Wali mengetahui bahwa
struktur kebudayaan Jawa menghendaki adanya integrasi atau penyatuan antara
penguasa atau raja dan pemimpin agama yaitu ulama atau pendito, sehingga di
Jawa ada pepatah atau kearifan lokal
(local wisdom) yang merupakan norma atau aturan “Sabdo Pendito Ratu”, apabila telah dikeluarkan maka rakyat atau kawulo akan tunduk dan mengikuti apa
yang dikatakan dan dikehendaki oleh yaitu ucapan penguasa atau raja dan
pemimpin agama atau pendito/ulama.
Dengan demikian apabila sudah dapat mengIslamkan Raja, berarti telah
mengIslamkan rakyat atau kawulo
seluruhnya.
Proses Islamisasi demikian
ini mengakibatkan pengetahuan rakyat tentang Islam disamping campur baur dengan
adat, juga keIslamannya masih sangat dangkal. Sehingga kemudian kita jumpai
istilah yang kurang kita setujui seperti “Islam KTP”, “Islam Keturunan”, “Islam
Abangan”, “Islam Statistik, “Islam Pengakuan”, “Islam Khitan dan Kawin” dan
sebagainya yang ditujukan kepada orang Islam, tetapi tidak memahami dan
mengamalkan ajaran Islam. Hal ini bukanlah kesalahan para Wali dan salah umat
Islam, tetapi suatu dakwah yang belum selesai, yang seharusnya diteruskan dan
diselesaikan oleh ulama/mubaligh generasi berikutnya.
Segi positif atau
keuntungan dari keadaan semacam ini yang harus disyukuri dan merupakan modal
yang sangat besar bagi pengembangan Islam di Indonesia pada umumnya, dan Jawa
khususnyaadanya jumlah /kuantitas umat Islam yang sangat potensial dibina dan
dikembangkan kepada Islam yang sebenarnya. Bahkan di zaman Belanda dulu ada
satu kaidah yang merupakan pendapat umum masyarakat, yang kemudian menjadi
pedoman hukum adat yang menyatakan bahwa “Orang
Indonesia atau Pribumi Hindia Belanda pada dasarnya beragama Islam, kecuali
dapat membuktikan bahwa ia beragama lain selain Islam”.
Kerajaan Hindu yang
terakhir adalah Majapahit dengan rajanya yang terakhir bernama Prabu Wondokuning,
yang bergelar Prabu Brawijoyo V. Istana raja inipun tidak luput dari perhatian
para Wali untuk berdakwah Islam. Prabu Wondokuning ini mengambil istri putri
Raja Champa (Kamboja)bernama Dworowati. Putri ini memiliki abdi yang sangat
cantik. Abdi yang sangat cantik ini berasal dari Jawa dan telah masuk Islam,
hasil binaan wali. Dia diorbitkan oleh para wali ke istana untuk mengambil hati
sang Prabu. Benar akhirnya sang Prabu tertarik dan sangat tertawan dengan abdi
ini dan kemudian diambil sebagai istri selir. Dari selir ini lahir seorang anak
laki-laki bagus dan pada waktu lahir diceritakan mengeluarkan sinar (mencorong dalam bahasa Jawa). Karena
sang prabu merasa malu mempunyai selir dari abdi dan mempunyai anak pula, maka
ibu dan anaknya ini dibuang dan disuruh pergi, yang selanjutnya diasuh oleh
Adipati Sriwijaya Aryo Damar di Palembang. Anak tersebut waktu kecil deberi
nama Bondan dan setelah dewasa diberi nama Raden Patah oleh Kyai Ageng Sawah,
murid Kyai Ageng Tarub (konon nama lain Sunan Kalijaga).
Setelah dewasa Raden Patah
pergi ke Jawa ingin menghadap ayahandanya (Prabu Brawijoyo V)namun setelah
sampai di Gresik, Raden Patah bertemu dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang
pada saat itu Raden Rahmat telah mendirikan sebuah Pesantren (Ampel Denta ),
Pusat penyiaran Islam di Desa Ampel Gresik. Raden Rahmat adalah putra seorang
Ibu putri Champa (ibu Raden rahmat adalah adik Dworowati), sedang ayahnya
adalah bangsawan Arab. Selanjutnya Raden Patah berguru untuk mempelajari Agama
Islam di dalam Pesantren tersebut. Setelah dipandang cukup pengetahuannya dalam
rangka dakwah Islam, Raden Patah disuruh pergi dan menetap dan bertempat
tinggal di Desa Glagah Wangi Demak. Dengan dukungan para Wali Raden Patah berhasil mendirikan pesantren. Atas
dukungan para wali pulalah pesantren yang dipimpin oleh raden patah tersebut
berjalan dengan pesat serta besar pengaruhnya di kalangan masyarakat.
Karena sesuatu peristiwa
dan tiba-tiba Raden Patah bertemu dengan Raden Khusein (Adipati Terung) putera
Adipati Sriwijaya Arya Damar di Plaembang, masih keluarga dekat dengan Prabu
Barawijoyo V, ayahanda Raden Patah. Selanjutnya Raden Patah bersama bersama
raden Khusein pergi ke Istana Mjapahit. Raden Patah diterima dengan senang hati
dan tetap masih dianggap putranya sendiri. Selanjutnya raden Patah diberinya
kedudukan sebagai Adipati mewilayahi Kadipaten Bintoro Demak.
Kemudian setalah sampai
demak, atas dukungan para wali, Raden Patah membangun sebuah Masjid Agung di
Bintaro Demak pada tahun Saka 1399 dengan sengkalan “Lawang Trus Gunaning Janmo” sesuai dengan tahun 1477M. Masjid
tersebut selain tempat ibadah dan pusat dakwah Islam, dipergunakan pula sebagai
tempat permusyawaratan antar para wali.
Kemudian dalam rangka
meningkatkan dakwah Islam dan penyiaran Islam , atas kemufakatan para wali
dicetuskan ide bahwa setiap tahun diadakan perayaan rakyat, tepatnya setiap Rabiul Awal mulai tanggal 5 s/d 12 Rabiul Awal yaitu “Sekaten”, dengan maksud disamping memperingati kelahiran Nabi
Muhammad, yaitu tanggal 12 Rabiul Awal
juga sebagai dakwah Islam. Jadi ide adanya “sekaten”
untuk memperingati Maulud Nabi untuk dakwah Islam, juga dicetuskan para Wali
dan dipraktekkan di Masjid ini.
Dalam perayaan sekaten
tersebut diadakan penyuluhan Agama. Khutbah-khutbah dan nasihat tentang ajaran
Islam. Penamaan Sekaten juga berasal
dari para Wali, yang berasal dari kalimat
Syahadatain yang berati dua
kalimat Syahadat sebagai pintu
pertama orang masuk Islam. Di muka masjid dibangun regol atau pintu gerbang
yang diberi nama gapura (dari bahasa
Arab Ghafuuro), yang artinya tempat
mohon ampun/magfiroh kepada Allah.
Agar dalam perayaan Sekaten banyak
pengunjung serta dapaat menarik perhatian dalam kalangan masyarakat, yang masih
buta ajaran Islam, maka selama Sekaten
tersebut (7-8 hari) berturut-turut dibunyikan dua perangkat gamelan ciptaan
Sunan Giri dengan gending-gendingnya yang sangat menawan hati sanubari.
Akhirnya banyaklah anggota masyarakat berbondong-bondong ke masjid melalui Gapura di muka masjid. Disana ditawarkan
dan diajak/didakwahi masuk Islam, dan kalau mereka berkenan, karena masuk masjid
harus menjadi Islam dulu, maka mereka dituntun membaca 2 Kalimat Syahadat atau Syahadatain sebagai tanda masuk Islam. Dengan melalui dan melewati Gapura ini, mereka dinyatakan telah
diampuni dosa-dosanya masa lalu lantaran masuk dan menjadi orang Islam.
Setelah Raden Patah diberi
kedudukan oleh Prabu Brawijaya V (ayahnya) sebagai Adipati di Bintoro, pada
tahun 1478 terjadi peperangan antara Raja Keling dari Kediri Prabu Ranawijaya
Giriwardana dengan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya V, ayahanda
Raden Patah. Majapahit dapat dikalahkan dan diduduki oleh Raja Keling Prabu Rana
Wijaya Giriwardana dan atas kemauannya sendiri mengangkat dirinya sebagai Prabu
Brawijaya VI.
Mendengar jatuhnya
kerajaan Majapahit dan meninggalnya Prabu Brawijaya V oleh Raja Keling dari Daha
Kediri Prabu Ranawijaya Giriwardana, maka Raden Patah dan didukung oleh para
Wali memproklamirkan berdirinya kerajaan Demak dan oleh para wali, Raden Patah
diangkat sebagai Raja/Sultan dengan gelar Sultan Syah Akbar Panembahan Jimbun
pada tahun 1478.
Sejak saat itu kerajaan
Demak sebagai kerajaan pertama di Jawa, berkembang pesat baik dalam bidang
penyiaran Islam, kesejahteraan, dan kemakmuran serta pertahanan dalam rangka
mempersiapkan diri untuk menghadapi kekuatan Majapahit yang pada waktu itu
tampuk pemerintahan dipegang oleh R. Udara yang bukan pewaris yang sah dari
kerajaan Majapahit.
Perlu diketahui bahwa
Prabu Giriwardana dari Keling yang mengangkat dirinya menjadi Prabu Brawijaya
VI di Majapahit pada tahun 1498 (setelah berkuasa 20 tahun di Majapahit)
dibunuh oleh adipatinya sendiri bernama R. Udara sebagai balas dendam atas kematian
ayahnya bernama Rakyan Empu Tahan atas perintah Prabu Giriwardana. Kemudian R.
Udara menggantikan Raja Majapahit dengan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya
VII.
Dimasa pemerintahan R.
Udara atau Prabu Brawijaya VII inilah pada tahun 1513 sampai tahun 1518.
Kerajaan Demak melakukan peperangan dengan Majapahit yang dipimpin oleh R.
Udara (Brawijaya VII) dan berakhir bagi kemenangan kesultanan Demak. Dengan
kemenangan itu maka banyak pusaka–pusaka Kerajaan Majapahit diboyong ke Demak, sebab
Raden Patah sebagai putra Brawijaya V adalah pewaris syah dari kerajaan
Majapahit.
Meskipun sebenarnya
sebelum terjadi peprangan antara Kesultanan Demak dan Majapahit, Raja Brawijaya
VII telah meminta bantuan Porugis yang pada waktu itu menguasai tanah melayu yang
dipimpin oleh jendral D’albuquerque untuk menhadapi kemungkinan serangan Kasultanan
Demak. Akan tetapi permintaan itu ditolak dan tidak dikabulkan, karena Portugis
sudah melihat kekuatan Kasultanan Demak dan tidak mungkin dikalahkan oleh
Majapahit meskipun dibantu Portugis.
Dengan keruntuhan kerajaan
Majapahit ini maka banyak para bangsawan, pengikut Prabu Brawijaya yang setia,
non bangsawan dan pengikut Prabu Brawijaya yang setia dan rakyat yang tidak mau
tunduk kepada kekuasaan Demak, kemudian melarikan diri keluar dari Majapahit,
ada yang ke Timur sampai ke Bali dan ke Barat biasanya ke gunung-gunung seperti
Gunung Tengger, Gunung Sindoro, Gunung Dieng, Gunung Lawu (di tempat pelarian
ini mereka sempat membangun candi-candi sampai sekarang masih ada). Ada juga
yang lari sampai Gunung Kidul dan berkuasa di Karangmojo Gunungkidul.
Pelarian ke Gunungkidul
sempat menanamkan kekuasaan di wilayah Karangmojo (konon nama Karangmojo
berasal dari Mojopahit) dan sempat juga mendirikan candi-candi, sehingga disana
ada nama desa Candi, tetapi candinya telah dihancurkan oleh Ki Ageng Giring
(Putra Raden Patah) bersama pengikutnya dari pasukan Demak. Tidaklah
mengherankan bahwa daerah itu terdapat berbagai peninggalan Majapahit baik
budaya maupun fisik bangunan.
Pelarian atau
pembubarannya Majapahit ini tetap diamati oleh Demak dengan para Walinya dan
dilakukan pengejaran oleh para Mubaligh yang memiliki kemampuan sebagai
Prajurit. Yang ke Gunung Kidul antara lain Kyai Ageng Giring, yang sampai
meninggal di Giring Paliyan. Kyai Ageng Giring inilah yang memberi isyarat
adanya penguasa baru Islam di Mataram nantinya, yaitu Kyai Ageng Pemanahan,
yang bersaudara dengan Ki Ageng Giring di Gunug Kidul.
Sumber :
Kamaludiningrat, Ahmad Muhsin.2012.Sejarah dan Perjuangan Raden Kyai Haji Muhammad Hasan dan Keturunannya.Yogyakarta:Percetakan Jogja