Cari Blog Ini

Minggu, 29 Oktober 2017

Sejarah Awal Islam Masuk Ke Tanah Jawa

Berdasarkan penelitian sejarah dan memperhatikan prasasti dan peningkatan archeologis, maka dapat disimpulkan bahwa penyebaran Islam di Indonesia berasal langsung dari Timur Tengah pada abad pertama Hijriyah oleh para Mubaligh dan sekaligus pedagang, dengan pintu pertama di daerah Aceh dan pesisir utara Jawa. Khusus di daerah jawa, penyebaran Islam dilakukan oleh para Wali yang dikenal dengan kelompok “Wali Songo”, yang dikirim dari Timur Tengah, khususnya dari Kesultanan Turki.
Cara dan metode penyiaran yang digunakan oleh para Wali adalah dengan cara damai (penetration pasific) dan pada umumnya dimulai dari lapisan atas, yaitu para pengusaha dan para bangsawannya. Sebab para Wali mengetahui bahwa struktur kebudayaan Jawa menghendaki adanya integrasi atau penyatuan antara penguasa atau raja dan pemimpin agama yaitu ulama atau pendito, sehingga di Jawa ada pepatah atau kearifan lokal (local wisdom) yang merupakan norma atau aturan “Sabdo Pendito Ratu”, apabila telah dikeluarkan maka rakyat atau kawulo akan tunduk dan mengikuti apa yang dikatakan dan dikehendaki oleh yaitu ucapan penguasa atau raja dan pemimpin agama atau pendito/ulama. Dengan demikian apabila sudah dapat mengIslamkan Raja, berarti telah mengIslamkan rakyat atau kawulo seluruhnya.
Proses Islamisasi demikian ini mengakibatkan pengetahuan rakyat tentang Islam disamping campur baur dengan adat, juga keIslamannya masih sangat dangkal. Sehingga kemudian kita jumpai istilah yang kurang kita setujui seperti “Islam KTP”, “Islam Keturunan”, “Islam Abangan”, “Islam Statistik, “Islam Pengakuan”, “Islam Khitan dan Kawin” dan sebagainya yang ditujukan kepada orang Islam, tetapi tidak memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Hal ini bukanlah kesalahan para Wali dan salah umat Islam, tetapi suatu dakwah yang belum selesai, yang seharusnya diteruskan dan diselesaikan oleh ulama/mubaligh generasi berikutnya.
Segi positif atau keuntungan dari keadaan semacam ini yang harus disyukuri dan merupakan modal yang sangat besar bagi pengembangan Islam di Indonesia pada umumnya, dan Jawa khususnyaadanya jumlah /kuantitas umat Islam yang sangat potensial dibina dan dikembangkan kepada Islam yang sebenarnya. Bahkan di zaman Belanda dulu ada satu kaidah yang merupakan pendapat umum masyarakat, yang kemudian menjadi pedoman hukum adat yang menyatakan bahwa “Orang Indonesia atau Pribumi Hindia Belanda pada dasarnya beragama Islam, kecuali dapat membuktikan bahwa ia beragama lain selain Islam”.
Kerajaan Hindu yang terakhir adalah Majapahit dengan rajanya yang terakhir bernama Prabu Wondokuning, yang bergelar Prabu Brawijoyo V. Istana raja inipun tidak luput dari perhatian para Wali untuk berdakwah Islam. Prabu Wondokuning ini mengambil istri putri Raja Champa (Kamboja)bernama Dworowati. Putri ini memiliki abdi yang sangat cantik. Abdi yang sangat cantik ini berasal dari Jawa dan telah masuk Islam, hasil binaan wali. Dia diorbitkan oleh para wali ke istana untuk mengambil hati sang Prabu. Benar akhirnya sang Prabu tertarik dan sangat tertawan dengan abdi ini dan kemudian diambil sebagai istri selir. Dari selir ini lahir seorang anak laki-laki bagus dan pada waktu lahir diceritakan mengeluarkan sinar (mencorong dalam bahasa Jawa). Karena sang prabu merasa malu mempunyai selir dari abdi dan mempunyai anak pula, maka ibu dan anaknya ini dibuang dan disuruh pergi, yang selanjutnya diasuh oleh Adipati Sriwijaya Aryo Damar di Palembang. Anak tersebut waktu kecil deberi nama Bondan dan setelah dewasa diberi nama Raden Patah oleh Kyai Ageng Sawah, murid Kyai Ageng Tarub (konon nama lain Sunan Kalijaga).
Setelah dewasa Raden Patah pergi ke Jawa ingin menghadap ayahandanya (Prabu Brawijoyo V)namun setelah sampai di Gresik, Raden Patah bertemu dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang pada saat itu Raden Rahmat telah mendirikan sebuah Pesantren (Ampel Denta ), Pusat penyiaran Islam di Desa Ampel Gresik. Raden Rahmat adalah putra seorang Ibu putri Champa (ibu Raden rahmat adalah adik Dworowati), sedang ayahnya adalah bangsawan Arab. Selanjutnya Raden Patah berguru untuk mempelajari Agama Islam di dalam Pesantren tersebut. Setelah dipandang cukup pengetahuannya dalam rangka dakwah Islam, Raden Patah disuruh pergi dan menetap dan bertempat tinggal di Desa Glagah Wangi Demak. Dengan dukungan para Wali  Raden Patah berhasil mendirikan pesantren. Atas dukungan para wali pulalah pesantren yang dipimpin oleh raden patah tersebut berjalan dengan pesat serta besar pengaruhnya di kalangan masyarakat.
Karena sesuatu peristiwa dan tiba-tiba Raden Patah bertemu dengan Raden Khusein (Adipati Terung) putera Adipati Sriwijaya Arya Damar di Plaembang, masih keluarga dekat dengan Prabu Barawijoyo V, ayahanda Raden Patah. Selanjutnya Raden Patah bersama bersama raden Khusein pergi ke Istana Mjapahit. Raden Patah diterima dengan senang hati dan tetap masih dianggap putranya sendiri. Selanjutnya raden Patah diberinya kedudukan sebagai Adipati mewilayahi Kadipaten Bintoro Demak.
Kemudian setalah sampai demak, atas dukungan para wali, Raden Patah membangun sebuah Masjid Agung di Bintaro Demak pada tahun Saka 1399 dengan sengkalan “Lawang Trus Gunaning Janmo” sesuai dengan tahun 1477M. Masjid tersebut selain tempat ibadah dan pusat dakwah Islam, dipergunakan pula sebagai tempat permusyawaratan antar para wali.
Kemudian dalam rangka meningkatkan dakwah Islam dan penyiaran Islam , atas kemufakatan para wali dicetuskan ide bahwa setiap tahun diadakan perayaan rakyat, tepatnya setiap Rabiul Awal mulai tanggal 5 s/d 12 Rabiul Awal yaitu “Sekaten”, dengan maksud disamping memperingati kelahiran Nabi Muhammad, yaitu tanggal 12 Rabiul Awal juga sebagai dakwah Islam. Jadi ide adanya “sekaten” untuk memperingati Maulud Nabi untuk dakwah Islam, juga dicetuskan para Wali dan dipraktekkan di Masjid ini.
Dalam perayaan sekaten tersebut diadakan penyuluhan Agama. Khutbah-khutbah dan nasihat tentang ajaran Islam. Penamaan Sekaten juga berasal dari para Wali, yang berasal dari kalimat  Syahadatain yang berati dua kalimat Syahadat sebagai pintu pertama orang masuk Islam. Di muka masjid dibangun regol atau pintu gerbang yang diberi nama gapura (dari bahasa Arab Ghafuuro), yang artinya tempat mohon ampun/magfiroh kepada Allah. Agar dalam perayaan Sekaten banyak pengunjung serta dapaat menarik perhatian dalam kalangan masyarakat, yang masih buta ajaran Islam, maka selama  Sekaten tersebut (7-8 hari) berturut-turut dibunyikan dua perangkat gamelan ciptaan Sunan Giri dengan gending-gendingnya yang sangat menawan hati sanubari. Akhirnya banyaklah anggota masyarakat berbondong-bondong ke masjid melalui Gapura di muka masjid. Disana ditawarkan dan diajak/didakwahi masuk Islam, dan kalau mereka berkenan, karena masuk masjid harus menjadi Islam dulu, maka mereka dituntun membaca 2 Kalimat Syahadat atau Syahadatain sebagai tanda masuk Islam. Dengan melalui dan melewati Gapura ini, mereka dinyatakan telah diampuni dosa-dosanya masa lalu lantaran masuk dan menjadi orang Islam.
Setelah Raden Patah diberi kedudukan oleh Prabu Brawijaya V (ayahnya) sebagai Adipati di Bintoro, pada tahun 1478 terjadi peperangan antara Raja Keling dari Kediri Prabu Ranawijaya Giriwardana dengan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Brawijaya V, ayahanda Raden Patah. Majapahit dapat dikalahkan dan diduduki oleh Raja Keling Prabu Rana Wijaya Giriwardana dan atas kemauannya sendiri mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VI.
Mendengar jatuhnya kerajaan Majapahit dan meninggalnya Prabu Brawijaya V oleh Raja Keling dari Daha Kediri Prabu Ranawijaya Giriwardana, maka Raden Patah dan didukung oleh para Wali memproklamirkan berdirinya kerajaan Demak dan oleh para wali, Raden Patah diangkat sebagai Raja/Sultan dengan gelar Sultan Syah Akbar Panembahan Jimbun pada tahun 1478.
Sejak saat itu kerajaan Demak sebagai kerajaan pertama di Jawa, berkembang pesat baik dalam bidang penyiaran Islam, kesejahteraan, dan kemakmuran serta pertahanan dalam rangka mempersiapkan diri untuk menghadapi kekuatan Majapahit yang pada waktu itu tampuk pemerintahan dipegang oleh R. Udara yang bukan pewaris yang sah dari kerajaan Majapahit.
Perlu diketahui bahwa Prabu Giriwardana dari Keling yang mengangkat dirinya menjadi Prabu Brawijaya VI di Majapahit pada tahun 1498 (setelah berkuasa 20 tahun di Majapahit) dibunuh oleh adipatinya sendiri bernama R. Udara sebagai balas dendam atas kematian ayahnya bernama Rakyan Empu Tahan atas perintah Prabu Giriwardana. Kemudian R. Udara menggantikan Raja Majapahit dengan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII.
Dimasa pemerintahan R. Udara atau Prabu Brawijaya VII inilah pada tahun 1513 sampai tahun 1518. Kerajaan Demak melakukan peperangan dengan Majapahit yang dipimpin oleh R. Udara (Brawijaya VII) dan berakhir bagi kemenangan kesultanan Demak. Dengan kemenangan itu maka banyak pusaka–pusaka Kerajaan Majapahit diboyong ke Demak, sebab Raden Patah sebagai putra Brawijaya V adalah pewaris syah dari kerajaan Majapahit.
Meskipun sebenarnya sebelum terjadi peprangan antara Kesultanan Demak dan Majapahit, Raja Brawijaya VII telah meminta bantuan Porugis yang pada waktu itu menguasai tanah melayu yang dipimpin oleh jendral D’albuquerque untuk menhadapi kemungkinan serangan Kasultanan Demak. Akan tetapi permintaan itu ditolak dan tidak dikabulkan, karena Portugis sudah melihat kekuatan Kasultanan Demak dan tidak mungkin dikalahkan oleh Majapahit meskipun dibantu Portugis.
Dengan keruntuhan kerajaan Majapahit ini maka banyak para bangsawan, pengikut Prabu Brawijaya yang setia, non bangsawan dan pengikut Prabu Brawijaya yang setia dan rakyat yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Demak, kemudian melarikan diri keluar dari Majapahit, ada yang ke Timur sampai ke Bali dan ke Barat biasanya ke gunung-gunung seperti Gunung Tengger, Gunung Sindoro, Gunung Dieng, Gunung Lawu (di tempat pelarian ini mereka sempat membangun candi-candi sampai sekarang masih ada). Ada juga yang lari sampai Gunung Kidul dan berkuasa di Karangmojo Gunungkidul.
Pelarian ke Gunungkidul sempat menanamkan kekuasaan di wilayah Karangmojo (konon nama Karangmojo berasal dari Mojopahit) dan sempat juga mendirikan candi-candi, sehingga disana ada nama desa Candi, tetapi candinya telah dihancurkan oleh Ki Ageng Giring (Putra Raden Patah) bersama pengikutnya dari pasukan Demak. Tidaklah mengherankan bahwa daerah itu terdapat berbagai peninggalan Majapahit baik budaya maupun fisik bangunan.

Pelarian atau pembubarannya Majapahit ini tetap diamati oleh Demak dengan para Walinya dan dilakukan pengejaran oleh para Mubaligh yang memiliki kemampuan sebagai Prajurit. Yang ke Gunung Kidul antara lain Kyai Ageng Giring, yang sampai meninggal di Giring Paliyan. Kyai Ageng Giring inilah yang memberi isyarat adanya penguasa baru Islam di Mataram nantinya, yaitu Kyai Ageng Pemanahan, yang bersaudara dengan Ki Ageng Giring di Gunug Kidul.

                                                                                                                                    Sumber : 
Kamaludiningrat, Ahmad Muhsin.2012.Sejarah dan Perjuangan Raden Kyai Haji Muhammad Hasan dan Keturunannya.Yogyakarta:Percetakan Jogja

0 komentar:

Posting Komentar